Jurnal Nasional | Kamis, 21 Apr 2011
Ahmad Nurullah
Satrio Wahono
TRAGIS! Begitulah kesan sepintas kita apabila melihat kejahatan ekonomi yang dilakukan Malinda Dee ataupun penipuan uang yang dilakukan Selly Yustiawati. Sebab, aksi kriminal kedua wanita itu terbongkar justru di bulan Kartini. Lebih tragisnya lagi, tingkah polah kedua wanita itu telak mengkhianati pandangan ekonomi Kartini yang bercorak ekonomi sosial.
Memang belum banyak diketahui orang, Kartini ternyata juga memiliki pemikiran gemilang seputar ilmu ekonomi. Hal itu tegas terlihat di sela-sela halaman kumpulan surat Kartini yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Adalah sepucuk surat kepada Stella yang menguak setitik perhatian Kartini terhadap masalah ekonomi. Dalam suratnya tertanggal 25 Mei 1899 kepada Stella, Kartini mengemukakan ia menginginkan perempuan Hindia Belanda menjadi “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen: bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas dan bekerja sama." (cetak miring dari penulis)
Surat inilah yang patut mendapat perhatian khusus karena pendapat di dalamnya menggemakan pemikiran mengenai paham ekonomi sosial yang digagas oleh Sismondi (1773-1842) dan John A Hobson (1859-1942).
Sismondi dan Hobson
Meski Kartini tidak pernah menyebut bahwa dia sekurang-kurangnya mengetahui buku Sismondi atau Hobson, ternyata pemikirannya selaras dengan konsep ekonomi sosial dari dua ekonom masyhur tersebut.
Sismondi dan Hobson adalah dua tokoh yang mengembangkan sintesis awal antara kapitalisme liberal dan sosialisme. Yaitu, keduanya mengakui hak milik pribadi seperti kapitalisme liberal --tidak seperti sosialisme yang alergi dengan kata ini. Sekaligus bercorak sosialisme dengan menonjolkan peran negara sebagai agen intervensi.
Sebagaimana diurai Mikhael Dua dalam Filsafat Ekonomi (2008: 105), Sismondi dan Hobson menjelaskan bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama. Artinya, produksi barang dan layanan harus ditangani sedemikian rupa demi memaksimalkan kemakmuran manusia.
Berdasrkan konsep ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sebagai kepentingan bersama anggota masyarakat. Jadi, tugas ekonomi sosial adalah memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Selaras dengan prinsip tersebut, ekonomi sosial mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi mengedepankan prinsip persamaan hak dan kedudukan moral bagi setiap warga negara. Makanya, ekonomi sosial dijuluki sebagai ilmu normatif. Sebab, ilmu ini mencari norma bagi kebijakan dan institusi ekonomi yang baik demi menjamin kebaikan bersama.
Pada titik inilah, pemikiran ekonomi sosial dan pemikiran Kartini bertemu. Sebab, Kartini berpendapat bahwa seseorang dalam melakukan kerja (baca: kegiatan produksi) tidak boleh sekadar mengutamakan kepuasan dirinya, melainkan juga harus mementingkan masyarakat luas dan kebaikan bersama. Di sini, Kartini seakan ingin mengatakan bahwa kegiatan ekonomi haruslah bermaslahat bagi masyarakat luas dan bukan sekadar bagi produsen atau kaum kapitalis pemupuk laba.
Grameen Bank
Seperti sudah dikemukakan di atas, paham ekonomi sosial yang dicetuskan Sismondi dan ternyata dipantulkan juga oleh tokoh sezamannya nun jauh di Hindia Belanda, Kartini, masih relevan sampai sekarang. Contoh konkret penerapan ekonomi sosial ini, misalnya dapat kita lihat pada institusi Grameen Bank yang digagas pemenang Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, yang ironisnya baru saja didepak dari jabatan managing director lembaga tersebut.
Grameen Bank --grameen dalam bahasa Bangladesh berarti perdesaan-- adalah institusi yang bertujuan memberdayakan kaum perempuan dari kemiskinan dan dari dominasi lelaki. Caranya, Grameen Bank memberi kaum perempuan miskin di perdesaan itu akses pada kredit tanpa agunan untuk memulai usaha produktif. Hal ini revolusioner di Bangladesh karena kaum perempuan di sana adalah warga sekunder yang tidak memiliki penghasilan atau pun aset sehingga mereka tidak bankable alias tidak layak mendapatkan akses pada kredit.
Berkebalikan dengan stigma umum itu, M Yunus dan Grameen Bank justru memberikan kepercayaan penuh kepada kaum perempuan tersebut dan juga percaya bahwa kredit merupakan hak asasi bagi semua warga negara tanpa terkecuali, termasuk kaum perempuan miskin. Untungnya, kepercayaan mereka ternyata dibayar lunas , sebab tingkat gagal bayar kaum perempuan itu begitu kecil. Artinya, para perempuan miskin itu adalah pekerja keras, berketerampilan dan berkomitmen membayar cicilan.
Di sisi lain, keberhasilan Grameen Bank bukanlah keberhasilan institusi swasta itu semata mengingat pemerintah Bangladesh juga memberikan dukungan pada bank tersebut. Tadinya, pemerintah dan bank sentral Bangladesh tidak membolehkan pendirian bank yang segmennya khusus memberikan kredit kepada kaum miskin. Namun, setelah presentasi dan persuasi dari Yunus, pemerintah dan bank sentral Bangladesh luluh dan pada Oktober 1983 merevisi UU Perbankan demi mengizinkan pengecualian bagi Grameen Bank untuk beroperasi dengan status “bank swasta khusus". Pemerintah pun di awal pendirian Grameen Bank ikut menguasai 60 persen saham di sana. Di sinilah, prinsip ekonomi sosial yang memadukan peran swasta dan intervensi pemerintah terpenuhi.
Hasilnya pun menakjubkan! Kaum perempuan Bangladesh kini memiliki penghasilan serta mampu menopang perekonomian keluarga tanpa mengorbankan peran tradisional mereka sebagai pengasuh anak. Dengan kata lain, perempuan miskin Bangladesh telah teremansipasi dan bermetamorfosis menjadi apa yang disebut Kartini sebagai “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen."
Maka itu, kaum perempuan di Indonesia pun sepatutnya menengok kembali pelajaran ekonomi yang demikian berharga dari Kartini, yaitu dengan mengamalkan prinsip-prinsip ekonomi sosial. Selamat hari Kartini!
Pengamat Manajemen dan Penulis Buku
http://nasional.jurnas.com/halaman/6/2011-04-21/167093
REVIEW JURNAL :
KARTINI DAN PRINSIP EKONOMI SOSIAL
Ahmad Nurullah
Satrio Wahono
1.Pendahuluan
kejahatan ekonomi yang dilakukan Malinda Dee ataupun penipuan uang yang dilakukan Selly Yustiawati. Sebab, aksi kriminal kedua wanita itu terbongkar justru di bulan Kartini. Lebih tragisnya lagi, tingkah polah kedua wanita itu telak mengkhianati pandangan ekonomi Kartini yang bercorak ekonomi sosial.
Memang belum banyak diketahui orang, Kartini ternyata juga memiliki pemikiran gemilang seputar ilmu ekonomi. Hal itu tegas terlihat di sela-sela halaman kumpulan surat Kartini yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Adalah sepucuk surat kepada Stella yang menguak setitik perhatian Kartini terhadap masalah ekonomi. Dalam suratnya tertanggal 25 Mei 1899 kepada Stella, Kartini mengemukakan ia menginginkan perempuan Hindia Belanda menjadi “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen: bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas dan bekerja sama." (cetak miring dari penulis)
Surat inilah yang patut mendapat perhatian khusus karena pendapat di dalamnya menggemakan pemikiran mengenai paham ekonomi sosial yang digagas oleh Sismondi (1773-1842) dan John A Hobson (1859-1942).
2.Point-point yang kami ringkas adalah sebagai berikut :
Makna atau sebuah arti paham yang memiliki persamaan kartini dalam menulis bukunya yang berjudul Habis Gelap Trebitlah Terang dengan kaitannya dari sebuah pemikiran yang ditulis oleh Sismondi dan John A Hobson yaitu sama-sama menggunakan paham sosial ekonomi dalam menerapkan hidupnya baik individual maupun bermasyarakat.
Kartini telah memberi sebuah petuah kepada masyarakat Indonesia yaitu salah satu kutipan dari buku yang ia tulis adalah sebagai berikut : bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas dan bekerja sama." (cetak miring dari penulis).
Pemikiran kartini selaras dengan pemikiran Sismondi dan John A Hobson berdasrkan konsep ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sebagai kepentingan bersama anggota masyarakat. Jadi, tugas ekonomi sosial adalah memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Karena kartini berpendapat bahwa seseorang dalam melakukan kerja (baca: kegiatan produksi) tidak boleh sekadar mengutamakan kepuasan dirinya, melainkan juga harus mementingkan masyarakat luas dan kebaikan bersama. Di sini, Kartini seakan ingin mengatakan bahwa kegiatan ekonomi haruslah bermaslahat bagi masyarakat luas dan bukan sekadar bagi produsen atau kaum kapitalis pemupuk laba.
Keterkaitan kartini dengan Grameen Bank yaitu memberikan kepercayaan penuh kepada kaum perempuan tersebut dan juga percaya bahwa kredit merupakan hak asasi bagi semua warga negara tanpa terkecuali, termasuk kaum perempuan miskin. Untungnya, kepercayaan mereka ternyata dibayar lunas , sebab tingkat gagal bayar kaum perempuan itu begitu kecil. Artinya, para perempuan miskin itu adalah pekerja keras, berketerampilan dan berkomitmen membayar cicilan.
3.Kesimpulan :
Jadi prinsip ekonomi pemikirannya sama dengan pemikiran seorang kartini yang memperjuangkan kemerdeaak bagi perempuan.
4.Referensi Jurnal :
• http://nasional.jurnas.com/halaman/6/2011-04-21/167093
Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
FACHRURROZY 22210469
FERIZAH ARINA M 22210742
NIKE APRIANTI 24210978
YULIANA EKA PUTRI 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481
Tidak ada komentar:
Posting Komentar