Selasa, 01 Januari 2013

OUTSOURCING. BI-01-SS-12

Apa yang Dimaksud dengan Outsourcing?
Outsourcing terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Mengapa kita harus mengalihkan pekerjaan yang sifatnya non-core? Karena perusahaan lain dapat mengerjakannya dengan lebih murah, lebih cepat, lebih baik dan yang lebih utama lagi adalah... karena kita punya pekerjaan lain yang sifatnya core yang lebih penting.

Dasar Hukum Outsourcing
Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis.
 
UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan outsourcing, namun dari pengertiannya outsourcing atau alih daya ini dapat diartikan sebagai pemindahan atau pengalihan sebagian proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa atau pihak lain. Pada dasarnya apabila dijalankan dengan baik maka pelaksanaan sistem outsourcing ini dapat memberikan dampak yang positif baik bagi para pengusaha, para pekerja, bahkan bagi pemerintah itu sendiri. Berikut dampak positif dari penerapan sistem outsourcing ini :
Bagi Pengusaha :
·         Dapat meningkatkan fokus perusahaan;
·         Pemanfaatan kemampuan yang lebih baik;
·         Pembagian resiko dalam turn over tenaga kerja;
·         Efisiensi biaya.
Bagi masyarakat dan pekerja :
·         Mendorong kegiatan ekonomi penunjang di lingkungan masyarakat;
·         Mengurangi penganguran
·         Mencegah urbanisasi
Bagi Pemerintah :
·         Mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional
·         Pengembangan usaha kecil, menegah, dan koperasi

Namun dibalik dampak positif tersebut, ternyata muncul banyak permasalahan terkait tenaga kerjaoutsourcing ini. berikut beberapa permasalahan yang timbul akibat dari tenaga kerja outsourcing ini :

·         Ketidakpastian status ketenagakerjaan
·         Ancaman PHK bagi tenaga kerja
·         Tidak adanya kepastian karir
·         Eksploitasi tenaga kerja

Lalu apakah perusahaan dapat sesuka hati menetapkan untuk memilih apakah akan menggunakan pekerjaoutsourcing atau PKWT atau pekerja tetap dalam menjalankan usahanya? UU Ketenagakerjaan telah mengantisipasi hal ini dengan membatasi kegiatan apa saja yang diperbolehkan untuk dilakukan melalui  PKWT ataupun outsourcing.
Dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “ Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1.     Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.    Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3.    Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4.    Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Dalam pasal 65 Ayat (2) disebutkan bahwa “ pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.     Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2.    Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak lagsung dari pemberi pekerjaan;
3.    Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4.    Tidak menghambat proses produksi secara langsung
Namun pada kenyataannya, sejumlah aturan tersebut ternyata belum dirasa cukup untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Permasalahan ini bahkan sudah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan sebagai hasilnya Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 dimana pada intinya keputusan tersebut menyatakan bahwa :
frasa perjanjian kerja waktu tertentu” dalam pasal 65 ayat (7) dan frasa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan :
·         bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak diisyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa/pekerja
·         tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak diisyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa/pekerja

Perlu diketahui bahwa Keputusan MK tersebut tidaklah mencabut keberlakuan pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing, namun hanya membatasi agar kepentingan para pekerja outsourcingini dilindungi.
Keputusan MK ini juga telah ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transportasi (Kemenakertrans) dengan menerbitkan Surat Edaran No B.31/PHIJKS/I/2012 tentang pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi No 27/PUU-IX/2011. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi telah memutuskan setiap pekerja outsourcing harus mendapatkan hak yang sama dengan pekerja non outsourcing.  Selain itu perusahaan outsourcing harus memperhitungkan masa kerja yang ada sebagai acuan untuk menentukan upah dan hak-hak lainnya di perusahaan outsourcing yang bersangkutan, termasuk terjadi hal pengalihan kepada perusahaan penerima pekerjaan yang lain.
Jika dilihat dari segi aturannya, maka seharusnya aturan tersebut sudah dapat melindungi para tenaga kerjaoutsourcing maupun PKWT. Namun dalam perkembangannya, banyak pihak justru tetap menolak pemberlakuan sistem outsourcing dan PKWT ini. lalu apa yang menjadi penyebab para pekerja outsourcingini masih menolak sistem ini? Perlu disadari bahwa suatu hukum/aturan yang dibuat haruslah dapat diimplementasikan dan membutuhkan sistem pengawasan. Oleh karena itu, aturan tersebut haruslah dapat melindungi kepentingan para pihak baik pengusaha maupun para pekerja. Selain hal tersebut, dibutuhkan juga sistem pengawasan yang kuat sehingga para pengusaha penyedia jasa ini tidak semena-mena dan dapat dipastikan bahwa perusahaan tersebut telah mematuhi hukum dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dengan sistem pengawasan saat ini yang dinilai masih lemah, banyak perusahaan penyedia jasa outsorcing ini yang tidak mematuhi hukum ataupun aturan yang telah ditetapkan, akibatnya para pekerja tidak mendapat perlindungan yang cukup. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap perusahaan penyedia jasa outsourcing yang masih melanggar hukum. Jika perlu, Pemerintah diharapkan mencabut izin perusahaan tersebut.
Selain hal tersebut, pemerintah juga diharapkan dapat mensosialisasikan kebijakan-kebijakannya baik kepada para pekerja maupun para pengusaha sehingga mereka dapat mengerti hak dan kewajiban masing-masing pihak. Peran serta masyarakat dalam mengawasi perusahaan-perusahaan “nakal” ini juga sangat dibutuhkan, Pemerintah tidak mungkin dapat mengawasi secara sempurna sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mendukung proses pengawasan ini. Dan terakhir, dibutuhkan juga suatu lembaga pengaduan independen dimana masyarakat ataupun para pekerja yang merasa tidak mendapatkan hak nya dapat melaporkan kepada lembaga ini untuk ditindak lanjuti.



sumber :
 http://thepresidentpostindonesia.com/?p=1024
http://www.jmt.co.id/outsourcing/index.php?option=com_content&view=article&id=44&Itemid=7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar